Bolehkah membuat makan-makan untuk panitia qurban? Atau panitia
qurban dapat jatah khusus dari daging qurban berbeda dengan lainnya?
Dibolehkan Mewakilkan Kurban pada
Suatu Kepanitian
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رضي الله عنه – قَالَ:
- أَمَرَنِي اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى
بُدْنِهِ, وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى
اَلْمَسَاكِينِ, وَلَا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئاً – مُتَّفَقٌ
عَلَيْه
Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallammemerintahkan padaku untuk mengurus unta (unta hadyu
yang berjumlah 100 ekor, -pen) milik beliau, lalu beliau memerintahkan untuk
membagi semua daging kurban, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh di punggung
unta untuk melindungi diri dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan aku tidak
boleh memberikan bagian apa pun dari hasil kurban kepada tukang jagal (sebagai
upah).” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no.
1707 dan Muslim no. 1317).
Hal penting yang bisa disimpulkan dari hadits di atas,
“Boleh mewakilkan dalam pengurusan kurban,
pembagian daging kurban, juga dalam menyedekahkan.” (Minhatul
‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, 9: 299).
Cara mewakilkan misalnya diserahkan pengurusan kurban tersebut kepada suatu kepanitiaan
di masjid terdekat, bahkan tidak ada masalah jika mewakilkan ke daerah yang
membutuhkan yang berbeda kota dengan cukup
mentransfer uang.
Upah untuk Jagal dari Hasil Kurban
Hadits ‘Ali di atas juga menunjukkan, “Bolehnya mengupah orang
lain untuk menyembelih kurban asalkan upahnya tidak diambil dari hasil
sembelihan kurban. Tidak boleh memberi tukang jagal sedikit pun dari daging
kurban. Karena kalau memberi dari hasil kurban pada tukang jagal, itu sama saja
menjual bagian kurban.” (Minhatul ‘Allam, 9: 299).
Dari hadits tersebut, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan kurban sebagai upah
baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’,
An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 453)
Dalam Kifayatul Akhyar (hal. 489)
karya Abu Bakr bin Muhammad Al Husayinniy Al Hushniy Asy Syafi’i disebutkan,
“Yang namanya hasil kurban adalah dimanfaatkan secara cuma-cuma, tidak boleh
diperjualbelikan. Termasuk pula tidak boleh menjual kulit hasil kurban. Begitu
pula tidak boleh menjadikan kulit kurban tersebut sebagai upah untuk jagal,
walau kurbannya adalah kurban yang hukumnya sunnah.” Hal yang serupa disebutkan
pula dalam Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’ karya Muhammad bin Muhammad Al
Khotib (2: 452).
Kalau hasil kurban diserahkan kepada jagal karena alasan status
sosialnya yaitu dia miskin atau sebagai hadiah, maka tidaklah mengapa.
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah (5:
105) disebutkan, “Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat: Haram memberikan
tukang jagal upah dari hasil kurban dengan alasan hadits ‘Ali radhiyallahu
‘anhu yang telah disebutkan. Namun kalau diserahkan kepada
tukang jagal tersebut karena statusnya miskin atau dalam rangka memberi hadiah,
maka tidaklah mengapa. Tukang jagal tersebut boleh saja memanfaatkan kulitnya.
Namun tidak boleh kulit dan bagian hasil kurban lainnya dijual.”
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan mengatakan, “Namun jika memberikan
hasil kurban kepada tukang jagal karena statusnya yang miskin, atau sebagai
status hadiah, maka tidaklah mengapa. Bahkan ia lebih berhak untuk
mendapatkannya. Karena ia telah berjuang mengurus hewan kurban tersebut. Jika
jagal tadi sudah mendapatkan upah, lalu ia diberi hasil kurban tersebut karena
statusnya tersebut, maka ia memang jelas lebih pantas mendapatkannya. Ini pun
semakin mendapatkan ganjaran karena sudah turut berbuat baik dengan apa yang
telah diambil oleh si jagal. Jadi transaksinya bukanlah mengupahi namun sebagai
bentuk sosial (mu’awadhoh).” (Minhatul ‘Allam, 9: 299).
Tidak Tepat Menyamakan Panitia dengan
Jagal
Sebagaimana kata Ibnu Mulaqqin
Asy Syafi’i dalam Al I’lam bi Fawaid Umdah Al Ahkam (6:
286), “Yang dimaksud jagal itu sudah diketahui bersama yaitu orang yang
menangani pengulitan dan memotong daging hewan yang disembelih.”
Adapun menyamakan antara panitia
kurban dengan jagal tidaklah tepat. Alasannya:
1- Panitia lebih tepat dianggap
sebagai wakil dari shohibul kurban. Kalau panitia kurban itu sebagai wakil,
maka sah-sah saja jika wakil memakan dari hasil kurban sebagaimana shohibul
kurban boleh demikian.
2- Jagal sebagaimana dijelaskan
di atas bertugas untuk memotong dan menguliti hewan kurban. Sedangkan panitia
kurban saat ini bukan terbatas pada itu saja. Panitia kurban bertugas lebih
kompleks, mereka mencari siapa yang akan berkurban, mengurus
penyembelihan bahkan sampai pada pendistribusian daging kurban kepada yang
berhak atau sebagai hadiah.
Pendapat yang tepat -sekaligus ralat dari pendapat kami
sebelumnya-, sah-sah saja atau boleh panitia kurban mendapatkan
jatah khusus dari hasil kurban, itu tidaklah masalah. Alasannya, karena hasil
kurban boleh pula dinikmati oleh shohibul kurban dan sisanya ia bagikan untuk
fakir miskin atau sebagai hadiah bagi yang mampu. Jika boleh demikian, maka
demikian pula berlaku pada wakil shohibul kurban. Begitu juga tidak mengapa
panitia mendapat jatah khusus berupa makan-makan bersama dengan alasan akadnya
adalah mu’awadoth (kerja sosial). Wallahu
a’lam. Hanya Allah yang memberi taufik.